Lelaki tua itu hanya menuntut keadilan. Lebih dari 15 tahun lalu, buah hatinya yang baru berusia 12 tahun, ditabrak seorang polisi. Sang penabrak malah tak mendapat hukuman setimpal hanya gara-gara kasus ini dianggap kadaluarsa.
Laki-laki tua itu lalu berjalan kami dari kediamannya di Malang, Jawa Timur, menuju Istana Presiden di Jakarta, meminta pemerintah melihat kejadian ini dengan kaca mata hati.
Jika pemerintah tak juga mau memenuhi permintaannya, kata lelaki tua itu, maka ia berencana berjalan kaki ke Baitullah, untuk mengadukan masalah ini kepada Sang Pencipta.
Cerita di atas hanya satu dari sekian banyak cerita yang kerap membuat kita mengelus dada. Kita kemudian bertanya, mengapa manusia sulit melihat segala sesuatu dengan kaca mata hati? Mengapa manusia begitu mudah menyangka bahwa Allah SWT tak melihat apa yang ia lakukan, padahal hati kecilnya membenarkan bahwa apa yang ia lakukan itu salah?
Mengapa pula manusia sering tertipu? Sesuatu yang megah dinilai hebat padahal mungkin saja keropos, sesuatu yang mahal disangka menarik padahal boleh jadi membahayakan, dan sesuatu yang indah dikira baik padahal boleh jadi menjebak.
Peradaban Islam rasanya tak akan mungkin terbangun manakala kita tak sanggup menilai segala sesuatu dengan kaca mata kalbu dan tolak ukur agama, bukan sekadar akal dan nafsu.
Hidayatullah.com