Kami, rakyat jelata Indonesia, sudah jenuh dengan semua yang kami alami. Apa yang kami alami seperti mengulang kisah orang tua dan kakek kami. Mereka tidak pernah luput dari penindasan. Kakek kami yang sudah mati tertindas oleh penjajah Belanda dan Jepang, orang tua kami tertindas karena rejim Orde Baru. Kemudian sekarang kami tertindas oleh rezim ini, entah siapa atau apa nama rezimnya, kami pun tidak tahu. Bukan hanya itu, kami juga semakin terhimpit karena tekanan dari orang dalam dan juga tertekan karena alasan luar negeri.
Kami sudah jenuh, terhimpit dan tertekan. Katanya bapak-bapak yang dulu bawa sembako, uang dan kaos bergambar itu berbicara pakai toa dan mikrofone berjanji kalau mereka akan membuat kami sejahtera. Tapi kenyataannya, mereka sama saja dengan orang yang datang sebelumnya. Mereka hanya mengumbar janji, merayu dan menggoda kami dengan kata-kata yang lantang dan menyemangati. Mereka yang berjanji mereka pula yang mengingkari.
Sungguh, jenuh sudah kami ini. Mereka dulu berjanji kalau harga-harga akan terjangkau. Namun kenyataannya, padi kami tak tentu harga tapi harga beras tentu selalu naik. Kami tidak bisa makan padi. Kami juga tidak bisa simpan padi banyak-banyak. Mereka berjanji kalau sudah panen akan membeli padi kami dengan harga yang layak. Bukannya layak mendapat harga yang membuat kami untung banyak, malah mereka tetap membiarkan para cukong padi membeli padi kami dengan harga murah. Kami harus tetap menjualnya, karena kami butuh garam, ikan dan uang.
Kami juga sudah jenuh dan malu jadi petani. Kami dianggap tidak manusia di negeri ini. Kami dianggap hanya sebagai objek pembangunan di negeri ini. Kami dianggap masyarakat kelas buangan layaknya orang dalam penjara. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Menjadi petani bukan karena kami mau ataupun mampu. Semua karena kami tidak punya pilihan. Kami menjadi petani bukan karena punya uang atau modal. Sebenarnya kami pun tidak pantas di sebut petani, karena kami hanya mengontrak sepetak tanah yang kami sewa dari tuan tanah. Kalau panen, sudah tentu hasilnya hampir bagi dua.
Pulang dari sawah kami jenuh dengan tayangan yang diizinkan mengudara melalui kotak bergambar dan bersuara itu. Kami jenuh ketika yang dipertontonkan hanya cerita perampokan uang rakyat oleh orang-orang yang ada di Gedung DPR, bapak-bapak yang bertoga dan yang berseragam cokelat dan kecokelat-cokelatan itu. Kami heran kanapa mereka bertengkar dan saling menuding kalau mereka sudah mencuri uang rakyat. Seingat kami, kamilah rakyat, mereka itu sepertinya tidak rakyat. Mungkin mereka hanya pura-pura jadi rakyat.
Lagi-lagi kami jenuh melihat tanya jawab orang yang katanya adalah pencurian uang rakyat. Acara yang sering dibuat "live" ini membuat kami bingung. Kami saling tanya apa benar bapak atau ibu yang cantik itu datang mencuri kerumah-rumah tetangga kami. Ternyata tidak satupun dari kami yang merasa kehilangan uang. Bahkan yang lain berguyon dan mengatakan kalau jangankan kehilangan, kedapatan uang pun tidak pernah. Dalam jenuh pun kami tertawa terpingkal-pingkal.
Jenuh dan Muak
Semakin kami menyaksikan tayangan seputar pencuri uang itu, semakin kami jenuh dan muak. Kalau memang benar mereka pencuri, kenapa tidak langsung dihukum saja? Beda sekali dengan tetangga kami yang mencuri buah kakao yang langsung di hukum. Kami dengar dari kampung sebelah, anak yang mencuri sandal aja udah langsung diproses aparat. Kami melihat hukum itu dibuat untuk menghukum kami secara sepihak. Semakin lama semakin kami percaya kalau hukum itu sengaja mereka buat agar kami tidak melawan mereka. Jangankan bisa untuk melawan mereka secara hukum, baca tulis aja pun kami kurang fasih. Apalagi disuruh bicara dan mengerti tentang hukum.
Rasa jenuh kami tetap tidak hilang walaupun kami sudah berganti tayangan televisi. Kalau tv yang tadi menayangkan orang-orang yang mencuri uang, sekarang kami menonton orang-orang yang sama dengan kami. Mereka miskin dan tak punya apa-apa. Tapi, mereka beruntung. Mereka dapat bantuan modal, diberi bantuan bebek, diberi perabotan rumah, dan lain-lain. Udah begitu, mereka masuk tv lagi. Kami heran dan jenuh kenapa wanita cantik yang menemani teman miskin kami menangis. Padahal kami tidak lagi menangisi itu karena kami sudah jenuh dan kering sudah air mata kami. Sesungguhnya kami tetap "nrimo" dengan keadaan kami.
Kami pindah saluran televisi yang lain untuk menyaksikan hiburan. Eh... bukannya terhibur, kami malah ikut jenuh melihat pemain sepak bola Indonesia kalah telak dengan kebobolan 10 kali tanpa pernah bisa membalas. Apa memang tidak ada lagi orang Indonesia yang bisa menendang bola dan bisa membuat gol? Yang lebih membuat kami jenuh dan bahkan bingung adalah banyaknya kompetisi dan pertandingan sepak bola di layar televisi Indonesia. Mungkin Indonesia perlu lima kompetisi sepak bola supaya menang, karena dengan dua kompetisi melalui ISL dan IPL aja kita belum bisa meraih prestasi.
Belum selesai jenuh kami, rasa jenuh kami pun semakin menjadi-jadi ketika dikatakan harga minyak akan naik mulai April ini. Saya heran kenapa pula lagi-lagi mereka yang berdebat masalah naik tidaknya harga BBM itu berdampak bagi kami. Saya pikir bapak-bapak itu sedang tidak waras. Kami ini hanya rakyat jelata. Kami tidak makan premium atau meminum solar. Kami juga tidak perlu takut ongkos naik. Karena tanpa naik harga minyak sekalipun, kami sudah tidak sanggup beli apa-apa. Kami sudah cukup makan nasi sedikit, tempe sepotong dan sayur daun singkong yang tumbuh di samping rumah. Lagian, kalau kami semakin susah, itu sudah jadi takdir kami yang harus hidup susah. Menurut kami, biar saja harga melambung sampai tidak satu orang pun bisa beli apa-apa. Biar juga mereka yang kaya merasakan kemiskinan dan kelaparan kami. Bila perlu, biar saja kami, langsung mati karena jenuh sudah kami hidup setengah mati.
Jenuh dan semakin jenuh juga kami melihat mereka yang sibuk berebut kekuasaan yang katanya demi kami. Di saluran televisi lain, kami melihat, sepertinya musim coblos, maksud kami contreng, sudah mau tiba. Sepertinya akan datang lagi bapak dan ibu yang dulu lima tahun lalu datang minta gambarnya dicoretin dan dijelekin. Tapi, biarlah. Meskipun jenuh biar saja mereka berkicau dengan gombalnya, yang penting dia bawa sembakau, uang dan baju bergambar itu. Kami yakin keadaan hari ini pasti sama dengan hari esok. Apapun janji mereka tentang kesejahteraan, semuanya itu hanya pelipur lara. Jenuh pun kami, jangan lupa datang kedusun kami. Kalau tahun lalu kami dapat Rp 50.000, kalau boleh tahun ini kami dapat kenaikan uang terima kasih dan terima dengar.
Dalam jenuh di relung malam yang sunyi, kami terus dipertontonkan dengan aksi kekerasan yang katanya premanisme, radikalisme dan anarkisme. Entah apa artinya semua itu. Di kampung kami, kami tidak perlu untuk main kasar dan main pukul seperti itu. Dikampung kami cukup dengan hidup normal semuanya akan hancur. Buat apa kami mencari mati, tanpa cari matipun, nyawa kami sudah terancam. Lihat saja, banjir, longsor, angin puting beliung dan bencana-bencana lainnya. Kabar bencana di dusun kami sudah tidak begitu populer lagi dan sudah tidak layak jadi berita.
Berita bencana di dusun kami sudah digantikan dengan bencana transportasi mulai dari kecelakaan yang dialami Mba Apri, kecelakaan bus di Cisarua, guru yang menabrak siswanya, dan banyak lagi kecelakaan yang lainnya. Tapi lagi-lagi kami jenuh dengan semua kejadian seperti ini. Setiap ada kecelakaan transportasi, pihak berwenang selalu berjanji akan mengusut. Tapi, janji tinggal janji. Penyebab kecelakaan selalu tidak jelas. Kalaupun sudah tahu, yang salah hanyalah orang-orang yang hanya jadi kaki tangan. Anehnya, selalu tidak terasa bentuk perbaikan dan pencegahan agar kecelakaan serupa tidak terulang lagi. Kami jenuh, yang jadi korban hanyalah kami dan rekan miskin kami.
Tapi sudahlah, semakin larut semakin kami jenuh. Kami harus tetap menjalani hidup. Besok pagi sudah menanti. Begitulah para bapak-bapak dan ibu yang menjadi motivator di saluran televisi yang lain. Mereka memberi semangat karena mereka memang dibayar untuk memberikan semangat itu. Tapi meskipun demikian, kami tetap jenuh. Kami bukannya tidak mau berusaha. Bertani kami merugi karena gagal panen dan harga anjlok. Berdagang kami diusir dan digusur karena tidak punya surat izin usaha. Bersekolah kami tidak bisa tinggi-tinggi karena tidak ada biaya dan tidak pintar untuk bisa dapat bea siswa. Melamar pekerjaan kami tidak diterima karena izajah kami berasal dari sekolah yang tidak terakreditasi. Bekerja serabutan kami tidak bisa karena sudah banyak pesaing. Jenuh dan jenuh kami.
Wahai bapak dan ibu yang mengatur negeri ini. Tolonglah kami supaya kami tidak jenuh. Berilah kami perhatian walau sekejab. Jangan biarkan jenuh kami berubah jadi depresi, gila dan mau bunuh diri. Cukuplah jumlah mereka yang sudah bunuh diri karena menyerah. Kasihanlah kami walau secuil. Kami tahu tiga puluh persen orang Indonesia itu kaya dan punya aset di negeri seberang. Bantulah kami. Berikan kami perhatian, modal dan pekerjaan. Kami sudah jenuh...kami sudah jenuh.
Sumber Harian Analisa