Muadz adalah remaja asal Yatsrib yang cerdas, pandai bicara, dan berkemauan keras. Dia berkenalan dengan Islam melalui Mush’ab bin Umair, dai muda dari Makkah. Muadz ikut rombongan 72 orang delegasi dari Yatsrib berbaiat kepada Nabi di Aqabah. Mereka bersumpah setia dengan Nabi, dan siap berjuang membela Nabi jika beliau nanti sudah hijrah ke Yatsrib.
Sekembalinya dari Makkah, Muadz bersama dengan beberapa orang remaja sebayanya membentuk suatu kelompok untuk menghancurkan berhala dan membuangnya dari rumah kaum musyrikin Yatsrib. Salah satu korban aksi Muadz dan teman-temannya adalah Amr bin Jamuh, pemimpin Bani Salamah. Orang tua ini mempunyai sebuah berhala dari kayu yang bagus dan mahal harganya. Patung itu diberinya pakaian sutra halus dan diberi wewangian setiap pagi. Dia merawat patung itu dengan penuh hormat.
Pada suatu malam yang gelap gulita, remaja kelompok Muadz mencuri patung tersebut dan membuangnya ke tempat kotoran di belakang rumah Amr. Pagi-pagi Amr mencari-cari patungnya dan kemudian menemukannya di tempat kotoran. “Celakalah orang yang menganiaya tuhan kami,” umpat Amr dengan marah. Patung itu diangkatnya dari kotoran, dimandikan, diberi wewangian, kemudian dikembalikan ke tempat semula.
Peristiwa itu terjadi berkali-kali. Akhirnya, Amr menggantungkan pedang pada leher patung itu sambil berkata: “Hai Manat, demi Allah, aku tidak tahu siapa yang menganiayamu. Jika engkau memang sanggup, maka lindungilah dirimu sendiri dengan pedang ini...!” Malamnya Muadz dan kawan-kawan kembali mengambil patung itu, mengikatnya jadi satu dengan bangkai anjing, lalu membuangnya kembali ke tempat kotoran. Setelah menemukannya, Amr pun tersadar. “Seandainya engkau benar-benar tuhan, tentu engkau tidak sudi diikat bersama bangkai anjing di dalam comberan bergelimang kotoran seperti ini.” Dari sini, ia pun kemudian memeluk Islam.
Setelah Nabi hijrah ke Yatsrib dan kemudian mengganti nama kota itu menjadi Madinah, Muadz banyak mendampingi Nabi dan menimba ilmu dari beliau, terutama dari aspek syariah. Dengan cepat Muadz menjadi salah seorang sahabat yang paling pandai membaca Alquran dan memahami isinya. Muadz belajar dengan tekun pada Rasulullah SAW. Beliau menimba ilmu dari sumber yang mulia. Muadz menjadi murid yang baik dari guru yang paling baik.
Tatkala delegasi raja-raja Yaman datang kepada Nabi menyatakan diri masuk Islam bersama rakyatnya, mereka meminta kepada Nabi untuk mengirim guru-guru mengajarkan agama kepada mereka. Nabi mengirim beberapa dai yang dipimpin oleh Muadz.
Tatkala melepas Muadz, Nabi bertanya, “Berdasarkan apa engkau menetapkan hukum hai Muadz?” Muadz menjawab, “Berdasarkan Kitab Allah.” “Jika tidak engkau temui dalam Kitab Allah?” tanya Nabi lagi. Muadz menjawab, “Dengan sunah Rasulullah.” “Jika tidak engkau temui juga dalam sunah Rasulullah?” Muadz tanpa ragu menjawab, “Aku berijtihad menggunakan akal pikiranku.” Nabi Muhammad SAW senang dan memuji Allah atas jawaban Muadz tersebut. Dialog inilah yang kemudian menjadi dasar hukum ijtihad para ulama.