Islam Moderat di Indonesia

Artikel Bustanuddin Agus yang berjudul ‘’Apakah Islam Moderat Itu?’’ (Republika, 20 Mei 2006) menarik untuk ditanggapi. Sebagai sebuah lembaga, Center for Moderate Muslim (CMM) memang masih muda. Usia dua tahun belum memadai untuk menggambarkan secara utuh gerakan CMM. Pada dasarnya, asas CMM yang berlandas pada kemanusiaan, keadilan sosial, dan demokrasi tidak serta-merta menggambarkan siapa CMM. Apalagi mengaitkan asas tersebut dengan pengaburan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Islam moderat

Sebagai sebuah gerakan, Islam moderat memiliki kiprah yang cukup panjang di Indonesia. Menguatnya peran Islam di Indonesia sejak abad ke-14 M, terutama pascaberdirinya Kerajaan Samudra Pasai dan Demak, diyakini oleh para sejarawan, tidak merusak identitas lokal. Malah konversi penduduk lokal kedalam agama Islam tidak menyebabkan mereka menanggalkan tradisi lokal. Padahal dua kerajaan itu berdiri di daerah pesisir, di mana pengaruh penguasa-penguasa lokal tidak kuat. Logikanya, semakin kecil pengaruh kekuasaan lokal, maka semakin besar kemungkinan tercabutnya tradisi lokal dalam proses konversi tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal Islam yang tumbuh di Indonesia memiliki karakter yang moderat. Istilah moderat dalam konteks ini dapat didefinisikan toleran dan simpatik. Sebuah bentuk keberagamaan yang menghormati identitas kebudayaan dan tradisi.

Karakter seperti itulah yang sebetulnya mengakar kuat dalam perkembangan Islam selanjutnya. Meski belakangan muncul karakter lain yaitu puritan, akibat dari perjumpaan intelektual Muslim Nusantara --terutama yang berasal dari daerah Aceh dan Sumatra Barat-- dengan Muslim Hadramain (Makkah dan Madinah). Hal itupun terjadi seiring dengan persaingan politik antara Turki Usmani dengan penguasa-penguasa Eropa di abad ke-17 M.

Kesamaan identitas agama dan ketegangan dengan bangsa Eropa mendorong menguatnya konsolidasi kekuatan antarpenguasa Muslim. Selain itu, hubungan diplomatis dan perdagangan Muslim Nusantara dengan Turki Usmani dan khalifah-khalifah di Timur Tengah berlanjut pada tradisi belajar di Hadramain, seiring dengan pelaksanaan ibadah Haji dan Umrah.

Sebagai pusat perjuangan Nabi Muhammad, Hadramain memiliki tradisi keagamaan yang lebih ketat. Karakter puritan ini diperkuat ketika gerakan Wahabi muncul pada awal abad ke-19. Karena itu, Islam yang puritan muncul lebih akhir dan terlokalisasi di sekitar Sumatra. Namun secara keseluruhan, watak Islam yang tersebar di Indonesia adalah moderat.

Perkembangan Islam yang moderat ini disebutkan oleh John L Esposito akan menjadi pendorong munculnya kawasan alternatif bagi kebangkitan Islam (1997). Kecenderungan ini mengeliminasi pandangan pesimistis yang menyatakan bahwa agama Islam akan menjadi penghambat modernisasi dan demokrasi, seiring dengan tumbuhnya Islam moderat di Indonesia.

Mengenai hal ini telah banyak peneliti dan pengamat yang menulis tentang peran gerakan Islam Moderat dalam modernisasi di Indonesia. Sebut saja di antaranya Greg Barton, peneliti dan pakar di bidang Islam dari Australia, yang meneliti pemikiran Cak Nur, Ahmad Wahib, Gus Dur, dan Djohan Effendi. Barton mengelompokan mereka sebagai gerakan Islam neo-modernis, dengan meminjam istilah yang diperkenalkan oleh Prof Fazlur Rahman. Penggunaan istilah tersebut kadang diganti dengan terma ‘’moderat’’.

Begitupula disertasi Bachtiar Effendi, Islam dan Negara (2000), yang telah dipublikasikan. Dia meneliti tentang peran kelompok moderat dalam transformasi masyarakat Indonesia, mengakhiri perdebatan dan orientasi gerakan ideologis (Islam politik) dan membawa Indonesia pada keberagamaan yang sejalan dengan modernisasi.

Lagi-lagi istilah moderat memang tidak digunakan secara tegas. Ini mencerminkan bahwa istilah moderat dimaksudkan sebagai watak keislaman yang apresiatif dan sejalan dengan lokalitas dan modernitas. Di sinilah justru munculnya perdebatan, sejauhmana kekhasan Islam moderat yang diusung oleh CMM dalam konstalasi gerakan Islam (moderat) di Indonesia? Dan siapa aktor-aktor Islam moderat itu?

Antiterorisme

Pendirian CMM memang dilatari oleh keprihatinan pascatragedi 11 September 2001. CMM merupakan amanat ulama dan cendekiawan di Asia Tenggara yang ditugasi untuk mengklarifikasi opini yang berkembang di masyarakat Barat. Stigma terorisme itu sangat merugikan umat Islam. Padahal kesadaran umat Islam tidak tunggal. Pergulatan dan pengalaman hidup yang beraneka macam itu tidak memungkinkan munculnya keseragaman sebuah karakter keberagamaan.

Harus diakui adanya kekeliruan umat Islam dalam memandang konsep jihad. Sejauh ini konsep jihad itu sering digunakan untuk memicu sentimen anti-Barat. Bahkan kerap digunakan untuk legitimasi aksi teror. Situasi ini mendorong CMM untuk meredam laju ‘pesona’ tafsir jihad yang tidak sejalan dengan misi perdamaian dan kemanusiaan agama Islam. Jadi Islam moderat yang diusung CMM memiliki perhatian yang berbeda dengan gerakan moderat sebelumnya.

Jaringan Islam Liberal (JIL), misalnya, lebih menitikberatkan pada liberasi tafsir agama yang sudah tidak relevan dengan konteks kekinian. Maka isu yang diangkatnya adalah problem sosial yang ada dalam konteks negara bangsa modern. Namun kekhasan itu --yang diusung CMM dan gerakan Islam moderat lainnya-- memiliki titik temunya pada komitmen terhadap kemanusiaan dan perdamaian. Hal ini sering disalah-pahami oleh pengamat.

Sederhananya, istilah moderat sejak lama tidak pernah menjadi nama formal sebuah kelompok gerakan. CMM menggunakan nama moderat setelah memotret adanya kecenderungan baru yang khas, yakni pascatragedi 11 September itu.

Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah dua ormas yang giat mengkampanyekan gerakan moderat ini. Dapat dikatakan bahwa CMM adalah kristalisasi dan penegasan dari upaya NU-Muhammadiyah untuk melawan gerakan terorisme.


Share this article :

Followers

 
Support : Creating Website | Template | Mas
Copyright © 2011. Dunia Dan Akherat - All Rights Reserved
Template Modify and Proudly powered by Free Blog