Al-haya artinya malu, tapi malu bukan karena rasa bersalah atau sebab lain yang disebabkan perasaan jelek. Al-haya adalah malu yang didorong oleh rasa hormat dan segan terhadap sesuatu yang dipandang dapat membuat dirinya terhina. Jika seseorang hendak melakukan sesuatu perbuatan tetapi kemudian mengurungkan niatnya karena terdapat akibat jelek yang bisa menurunkan harkat dirinya dimata orang yang dihormati, maka dia telah memiliki sifat Al-haya. Inilah salah satu sikap yang merupakan cerminan akhlaq malu dalam hatinya.
Namun, tentu saja malu setiap orang berbeda sesuai dengan tingkatan keyakinan (keimanan) yang dimilikinya akan sesuatu yang dijadikan objek malu tersebut. Bahkan seseorang bisa saja menjadikan objek malu yang salah dan menyesatkan atau membawanya kepada riya dan syirik.
Sebuah riwayat menceritakan, ketika Zulaikha hendak melakukan maksiat kepada Yusuf AS, dia melihat patung di sekelilingnya terbuka, kemudian dia menutupinya dengan kain. Lalu Yusuf bertanya, “Mengapa patung-patung itu ditutupi ?” Jawab Zulaikha; “Aku malu bila perbuatan maksiat ini dilihat oleh tuhan-tuhanku.” Dalam hal ini, malu ditempatkan pada sesuatu yang menyesatkan, sehingga maknanya menjadi lain.
Dalam Islam, Al-haya termasuk akhlaqul karimah yang amat luhur, terutama bila sudah mencapai tingkat malu yang paling tinggi. Sifat malu lahir ketika manusia mengalami pengalaman beragama dan menjalani ihsan sebagai puncak pengabdian manusia terhadap Khaliq-nya. Al-haya adalah bagian iman yang utama. Sabda Rasulullah SAW: “Malu dan diam adalah cabang dari iman, sedangkan keji dan keras (banyak omong) adalah cabang dari nifaq.” HR. Hassan Ibnu Athiah dari Abi Umamah
Keutamaan Al-haya ini banyak dikemukakan oleh para ahli hikmah yang memandang bahwa malu merupakan pangkal kebahagiaan seseorang. Karena dengan sifat malu, dia akan berhati-hati dalam setiap amaliahnya. Malu adalah salah satu bentuk ihsan yang artinya keyakinan kita ketika melaksanakan ibadah seakan kita melihat Allah Subhanahu Wata'ala dan Dia menyaksikan perbuatan kita sekecil apapun. Salah sebuah Hadits mengingatkan kita, sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya yang menjadi peringatan Nabi-Nabi terdahulu kepada manusia ialah, apabila kamu tidak punya rasa malu, maka lakukanlah apa yang kamu kehendaki sesukamu.” HR. Al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud RA
Hadits ini menunjukkan akan keutamaan Al-haya sebagai ajaran yang dida’wahkan setiap para utusan Allah. Maka setiap mujahid da’wah, selayaknya memahami hakikat Al-haya ini, supaya manusia mengerti fungsi dan peran Al-haya dalam kehidupannya. Hadits di atas mengisyaratkan juga bahwa bila rasa malu telah hilang dalam hati seseorang, maka alamat dia telah terjerumus menjadi manusia yang hilang akalnya, sehingga berbuat sesuka hatinya tanpa mengindahkan lagi aturan Allah SWT maupun kehormatan dirinya. Na’udzubillahi Min Dzalik.
Sebagai penjelasan makna Al-haya ini, Imam Al-Mawardi membagi jenis Al-haya menjadi tiga bagian. Pertama, malu terhadap Allah Subhanahu Wata'ala. Kedua, malu terhadap manusia, dan Ketiga, malu terhadap diri sendiri. Ketiga bagian ini menunjukkan tingkatan malu berdasarkan faktor pendorongnya.
Tingkatan Pertama, malunya seseorang terhadap Allah Subhanahu Wata'ala ialah jenis malu yang paling tinggi, dimana seorang hamba merasa bahwa dirinya disaksikan, sehingga secara sadar dia melaksanakan setiap perintah Allah SWT serta menjauhi apa yang dilarang-Nya. Sebagaimana sebuah Hadits dari Ibnu Mas’ud RA, sabda Rasulullah SAW: “Malulah kalian terhadap Allah Subhanahu Wata'ala sebenar-benarnya malu.” Kemudian shahabat bertanya: “Bagaimana cara kita malu terhadap Allah yang sebenar-benarnya itu?” Rasulullah SAW menjawab: “Barangsiapa yang memelihara kepala dan apa yang di dalamnya menjaga perut dan isinya serta meninggalkan hiasan kehidupan dunia, mengingat mati dan kesusahan, maka dia telah malu terhadap Allah dengan sebenar-benarnya.”
Banyak lagi Hadits lainnya, bahkan sebuah Hadits menyebutkan; “Barang-siapa yang sedikit rasa malunya, maka dia telah kufur.” Maksudnya ialah, sedikit malunya terhadap Allah, dimana dia tidak pernah melaksanakan hak-hak Allah atau lalai terhadap kewajibannya sebagai hamba-Nya.
Tingkatan Kedua ialah malu terhadap manusia. Maksudnya, ketika kita akan bermaksud jelek, kemudian ada perasaan bahwa jika perbuatan tadi dilihat oleh sesama manusia akan menimbulkan kejelekan di mata mereka. Namun, bukan berarti kita menyekutukan Allah dengan manusia, tetapi malu dalam hal ini sebagai manifestasi taqwa kita terhadap Allah Subhanahu Wata'ala, seperti dijelaskan dalam sebuah riwayat; “Bagian dari taqwa kepada Allah ialah berhati-hati dari manusia.”
Malu terhadap manusia semakna dengan muru-ah yaitu sifat menjaga kehormatan diri di hadapan manusia. Sya’ir Arab menyebutkan; “Barangsiapa yang tidak menjaga perbuatannya, tidak takut kepada Khaliq dan tidak merasa malu terhadap makhluq, maka lakukanlah apa yang kamu mau.”
Tingkatan Ketiga adalah malu terhadap diri sendiri yaitu sifat iffah, artinya memelihara kebersihan jiwa dari sifat tercela meskipun dalam keadaan menyendiri. Para ahli hikmah berkata; Barangsiapa melakukan perbuatan dalam sunyi yang apabila perbuatan itu dilakukan dalam keramaian dia merasa malu, maka telah hilang kemuliaan darinya.
Kesadaran inilah yang mendorong manusia beramal shalih dimanapun dan kapanpun. Maka seorang mujahid sudah seharusnya berusaha dengan sungguh-sungguh memelihara sifat malu, sehingga tetap berada dalam keridhaan Allah SWT. Karena dengan demikian, tugasnya menyerukan Al-haq telah terpenuhi, baik bagi dirinya sendiri maupun sesama muslim lainnya.
Wallahu A’lam